Selasa, 23 Maret 2010

KASUS BANK CENTURY YANG TAK KUNJUNG USAI


Apakah BI Penyebab Terjadinya Masalah Bank Century?

Pada tulisan sebelumnya berjudul “Apakah Benar Bank Century Merupakan Bank Gagal yang Berpotensi Sistemik ?“, saya mengajak berdiskusi tentang ketepatan alasan penyelamatan Bank Century dan memperkenalkan pendekatan analisis cost, benefit dan risiko yang sistematis dan menyeluruh untuk benar-benar dapat memutuskan apakah Bank Century sebaiknya diselamatkan atau ditutup saja. Keputusan seorang profesional harus selalu bisa dijelaskan dan dipertanggungjawabkan.

Mari kita berpindah pokok bahasan..

Sekarang mari kita beralih ke isu tentang kenapa Bank Century sampai mengalami kondisi parah sampai-sampai harus diselamatkan.

Penyebab utama yang paling jelas adalah adanya tindakan kriminal perampokan Bank Century oleh pemiliknya sendiri yaitu Robert Tantular yang saat ini sedang disidangkan. Untuk hal ini, ada baiknya kita mengikuti persidangannya. Sebab jika mengingat prestasi pengadilan umum kita selama ini, saya ragu Robert Tantular bisa mendapatkan hukuman yang setimpal. Dan juga ada hal lain yang harus kita awasi terus, yaitu penyitaan aset Robert Tantular, untuk memastikan bahwa aset-aset tersebut benar-benar kembali ke negara. Ini PR buat teman-teman Kompasianer.

Dari penyebab utama tersebut lalu muncul lah pertanyaan-pertanyaan logis seperti berikut : Kenapa BI bisa tidak tahu ?, Memangnya kasus Bank Century langsung terjadi seperti sekarang tanpa ada tahapan-tahapan eskalasi masalahnya sehingga BI tidak bisa mengetahuinya ? atau pertanyaan yang mungkin lebih sadis lagi adalah : Memangnya kerja BI selama ini bagaimana ya ?

Dari pendapat-pendapat yang berkembang, ada 2 isu yang menarik untuk diperhatikan tentang penyebab tidak bisa dicegahnya kasus Bank Century .

Apakah Penyebabnya adalah Pengawasan BI yang lemah ?

Pertama, adalah “lemahnya pengawasan BI”. Pendapat seperti itu, salah satunya disuarakan oleh JK. Tentu saja maksud dari pendapat tersebut adalah bahwa seharusnya tidak mungkin BI tidak mengetahuinya karena peristiwa tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. Gejalanya pasti sudah ada ketika masalah tersebut secara bertahap membesar menjadi seperti sekarang ini.

Pernyataan tersebut dibantah oleh BI seperti dapat dibaca pada artikel di Kompas bertajuk “Pengawasan Ketat, Manipulasi Tetap Bisa Terjadi” tanggal 31 Agustus 2009.

Memang benar manipulasi selalu bisa terjadi sekalipun ada pengawasan yang ketat. Mengingat kasus Bank Century tidak terjadi dalam sekejap mata, pertanyaan yang sesungguhnya adalah apakah pengawasan BI juga tidak bisa menangkap gejala yang ada ketika permasalahan tersebut mengalami eskalasi secara bertahap sampai kondisi yang sekarang ini ?

Pertanyaan itulah yang seharusnya dipertanggungjawabkan secara profesional oleh Direktorat Pengawasan Bank Indonesia. Dan pertanyaan itu seharusnya disikapi dengan root cause analysis untuk melakukan, jika perlu, re-engineering filosofi, paradigma, strategi, pendekatan, sistem dan mekanisme proses kerja pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI.

Kesadaran terhadap kebutuhan root-cause analysis untuk penyempurnaan ini seharusnya ada dibenak pejabat BI yang lebih tinggi sehingga usaha penyempurnaan yang efektif memang dapat menghasilkan penyempurnaan yang nyata dan tidak hanya sekedar diatas kertas saja.

Kita tidak bisa berlindung pada sistem dan prosedur jika ternyata kita ‘kecolongan’. Ada yang salah pada sistem dan prosedur pengawasan sehingga kita tidak bisa menemukan atau sistem dan prosedur pengawasan sudah baik tetapi tidak tindak lanjut yang efektif dan segera terhadap hal-hal yang ditemukan.

Tidak ada gunanya memberikan status comply sementara substansi permasalahan yang sesungguhnya tidak terungkap karena tidak diamati dan diteliti dengan memadai. Sudah bosan rasanya mendengar ’sudah comply’ tetapi tetap ada banyak masalah dan status tersebut tidak bisa mendorong pertumbuhan yang sesungguhnya. Beginilah nasib negara ini yang selalu terpaku pada compliance yang normatif. Hasil nyatanya hanyalah kesusahan pada rakyat saja.

Ketidakefektifan pengawasan tersebut menimbulkan pertanyaan selanjutnya yaitu : Jangan-jangan tidak ada mekanisme peer review terhadap sistem dan mekanisme pengawasan BI tersebut ? atau mungkin sudah ada, tetapi mekanisme peer review tersebut tidak efektif. Peer review dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang independen.

BI harus mengevaluasi pihak ketiga yang melaksanakan peer review terhadap sistem dan mekanisme pengawasan yang dimilikinya jika terbukti sistem dan mekanisme pengawasan yang dimiliki ternyata tidak efektif.

Diluar aspek efektifitasnya, BPK di peer review oleh ‘BPK’ dari negara lain yang tergabung didalam asosiasi ‘BPK’ dunia bernama INTOSAI seperti dipostingkan salah satu pembacanya di detik dengan tajuk “Penyerahan Hasil Peer Review BPK RI” di Detik tanggal 20 Agustus 2009.

BI bukannya tidak tahu gejalanya, hanya saja tidak tepat menyikapinya ?

Jika ternyata sistem dan proses kerja pengawasan yang dilaksanakan memang sudah berhasil menemukan gejala-gejala masalah yang terjadi pada Bank Century maka pertanyaan berikutnya adalah : Kenapa BI tidak menyikapinya dengan suatu keputusan yang bersifat mencegah permasalahan menjadi berkembang luas ?

Pada tulisan Kompas bertajuk “Bank Nakal Jangan Dibantu” 2 September 2009, Drajat mengatakan bahwa “Kesalahan BI bukanlah terletak pada lemahnya pengawasan, tetapi lebih pada tiadanya keberanian untuk menghukum atau mengambil tindakan tegas.“

Mengenai adanya eskalasi masalah Bank Century kita bisa mengikuti pendapat Drajat Wibowo : ”Ada tiga kesempatan di mana seharusnya bank tersebut ditutup, tetapi BI tak melakukannya,”

Berikut kutipan penjelasan mengenai contoh tidak tepatnya sikap yang diambil oleh BI:

Menurut Dradjad, BI pada tahun 2003 telah mengetahui ketidakberesan Bank CIC (yang lalu bersama Bank Danpac dan Bank Pikko merger menjadi Bank Century tahun 2004) dengan indikasi adanya surat-surat berharga (SSB) valas sekitar Rp 2 triliun yang tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan sulit dijual.

SSB valas yang berpotensi bodong sebenarnya tidak boleh dibeli bank. Keberadaan SSB valas tersebut hanya untuk menyelamatkan neraca bank, yang sejatinya sudah kolaps. Ada indikasi penipuan yang dilakukan pemegang saham.

Namun, saat itu BI tidak tegas untuk tidak mengakui SSB valas tersebut. Sebagai solusi, BI malah menyarankan merger.

Pascamerger, ternyata SSB valas itu masih bercokol di neraca Bank Century. Instruksi BI agar SSB valas itu dijual ternyata tak bisa dilakukan pemegang saham. ”Saat itu BI sebetulnya kembali punya kesempatan untuk menutup Century, tetapi itu tak juga dilakukan,” katanya.

Solusi permasalahan saat itu adalah pembuatan asset management agreement di mana pemegang saham menjamin SSB valas tersebut dengan deposito di Bank Dresdner, Swiss, yang belakangan ternyata sulit ditagih.

Saat Bank Century akhirnya benar-benar kolaps akibat kekurangan likuiditas dan pemburukan aset tahun 2008, ternyata BI kembali menyelamatkannya dengan alasan sistemik.

Jadi menurut saya, masalah sesungguhnya adalah pada pengambilan keputusan. Tentu saja pengambilan keputusan yang efektif itu haruslah CEPAT dan sekaligus TEPAT karena menggunakan metode dan pendekatan (baca: analisis cost, benefit dan risiko) yang dapat dipertanggungjawabkan. Baca juga tulisan saya sebelumnya “Apakah Benar Bank Century Merupakan Bank Gagal yang Berpotensi Sistemik ?” yang menyinggung masalah pengambilan keputusan juga.

Bagaimanapun karakteristik kepribadian dan perilaku seseorang tidak boleh mengorbankan persaratan pengambilan keputusan yang efektif. Seseorang harus bisa merubah kualifikasi dirinya untuk menjadi seorang pengambil keputusan yang efektif jika dia menjadi seorang pemimpin, apapun tingkat kepemimpinannya.

Game utama seorang pemimpin adalah pengambilan keputusan yang efektif. Semakin tinggi tingkatan kepemimpinannya maka semakin kompleks dan kebutuhan keputusan yang segera dan tepat menjadi kata kuncinya.

Kesimpulan

Saya secara pribadi sangat berharap bahwa pada akhirnya dapat diketahui situasi yang sesungguhnya, yaitu apakah sistem dan proses kerja pengawasanyang memang lemah atau pengambilan keputusan yang tidak tepat dan segera. Hal itu penting agar dapat dilakukan pembenahan yang tepat.

Pengawasan yang efektif akan mampu mendeteksi permasalahan lebih dini. Sikap yang tepat terhadap hasil pengawasan membutuhkan kemampuan pengambilan keputusan yang tepat dan segera sesuai dengan tingkat urgensinya.

Melaksanakan pengawasan hanya bertumpu pada compliance yang normatif cenderung tidak akan menemukan masalah-masalah substasial yang sebenarnya terjadi. Dibutuhkan kemampuan analisa yang luas dan mendalam, lebih dari sekedar pengumpulan data dan kelengkapan pengisian form compliance checking.

Kegagalan menemukan gejala sesuatu permasalahan yang sesungguhnya sedang terjadi juga mengindikasikan tidak efektifnya sistem dan proses kerja pengawasan yang dimiliki.

Setiap kegagalan yang dialami suatu sistem dan proses kerja sudah seharusnya memicu penyempurnaannya yang pelaksanaannya juga harus bisa menghasilkan perubahan substansial yang nyata, bukan hanya terpaku pada produk dokumentasi.

Salam saya eko deviyanto..

Dikutip , dari harian kompas..